Isi kepalanya dipenuhi sarang laba-laba
Lengannya dihiasi bekas luka sayatan
Ia memakai mahkota bertuliskan lara
Lambungnya dipenuhi pil melebihi batas
Di langit-langit kamar simpul tali menjuntai
Merayu mencoba memperkosanya
Luka kala remaja
Luka lingkaran terdekat
Luka oleh raja di istana merdekanya
Sedikit daftar kepahitan dari tumpukan deritanya
Bibirnya membisu
Darah dalam tubuhnya hitam tak lagi merah
Mimik wajahnya sering menyerupai tahi ayam
Matahari Mei masih menyala
Ia duduk berhadapan medikus paruh baya
Untuk pertama kali milyaran abjad keluar dari mulutnya
Disusul air mata terbaiknya sebagai persembahan paling mulia
Hormon endorfin menguasainya
Oksigen dalam tubuh tersalur sempurna
Darahnya perlahan kembali merah
Ia menggenggam klip biru menuju singgasana
Dunia menghitam untuk waktu yang cukup lama
Sumur di balik korneanya sering mengering
Ia terbiasa membiarkannya jatuh
Mengalir tanpa suara menuju kolam deritanya
Perang melawan sosok dalam cermin masih terus berlanjut
Bulan masih menggantung di langit
Ia membuka bungkusan coklat sedikit muda
Ada tumpukan kertas bersampul putih oranye
Dua amunisi baru untuk melanjutkan peperangan
Angin Juni menari lembut di pesisir utara
Di bawah pijar lentera sebuah bangunan tua
Di ruang yang lebih banyak jeruji ketimbang kaca jendela
Seorang perempuan muda berbaring di sebelah ranjangnya
Satu pekan menikmati langit-langit yang sama
Satu pekan meracik penawar luka masing-masing
Pertukaran kata dengan medikus kian bertambah
Berfokus perihal dunia patologi
Senyum palsu, pujian normatif
Sering tersaji untuk melarutkan suasana
Saat matahari tepat di atas kepala
Ia kembali menginjak gubuk deritanya
Dengan percaya diri yang kian menggunung
Dan suntikan moril dari orang-orang yang berbalik mendukungnya
Langit Juni hampir berakhir
Spanduk putih menyembul-nyembul tertiup angin kemarau
Menunggu dengan tabah di garis finis
Bercetak tebal dengan fon hitam sedikit memudar
“Kebahagiaan saya terbuat dari kesedihan yang sudah merdeka”
Semoga kelak menjadi miliknya